Kepalaku baru saja meledak. Meja ruang tamu, kubanting. Kursi,
televisi, setrika, juga turut serta. Sudah sejak lama ini, kusimpan
masalah demi masalah dengan hati-hati. Sejujurnya, aku benci pertikaian.
Namun, dinding kesabaranku sepertinya jebol. Aku kalap. Dan, saat
seperti ini, terengah engah sendirian di ruang tamu, rasa menyesal
menyelip ke permukaan. Kubayangkan selanjutnya, bagaimana perbincangan tetangga setelah kejadian ini. Mereka pasti menggunjingiku.
Tapi
benarkah aku harus marah? Ranti, perempuan yang kunikahi hampir lima
tahun ini menjadi pemicunya. Beberapa bulan terakhir santer terdengar
jika dia tengah menjalin hubungan gelap dengan teman satu pekerjaan.
Kanan kiri telah mampir ke telinga. Sebagai suami yang memberikan lampu
hijau untuk istrinya bekerja, hal demikian haruslah disikapi secara
bijak. Aku mencoba bijak. Ketika kutanya Ranti, dia malah meyakinkanku
kalau cintanya hanya padaku.
“Aku tak pernah mendua Mas.
Sumpah. Buat apa coba. Aku bahagia bersamamu.” Kata-kata itu
diucapkannya dengan penuh tekanan. Airmatanya keluar. Mengalir di
pipinya. Saat demikian, aku lebih percaya padanya daripada siapapun.
Maka semenjak itu, aku tak pernah mengungkitnya. Bagiku, saling percaya
merupakan kunci dalam menjalani ikatan pernikahan. Aku percaya dan akan
selalu percaya kepadanya. Semasa pacaran, bahkan sampai setelah
menikahpun.
Ranti bekerja juga untuk membantu ekonomi
keluarga. Pekerjaanku sebagai penulis, tak selalu menjanjikan uang
banyak. Bisa dibilang, semenjak Ranti bekerja di pabrik, ekonomi
keluargaku kembali stabil. Dengan kondisi kebutuhan yang harganya kian
melambung, dituntut bisa tidak bisa untuk menambah penghasilan. Salah
satu alternatif, memberikan lampu hijau untuk Ibu dari anakku untuk
bekerja. Ketika sudah memutuskan demikian, pada awalnya risiko terburuk
akan ku terima.
Namun sepertinya, kita terlalu mudah untuk
berencana. Memetakan keinginan kita dengan mudah. Seakan-akan hidup ini
kita sendiri yang mengendalikan. Aku masih mengingat apa yang aku lihat
sendiri tadi malam. Saat hendak mencari referensi kondisi malam di desa
sebelah untuk bahan pendalaman cerpen yang hendak kukerjakan, dinding
kesabaranku benar-benar diuji. Kulihat Ranti berboncengan dengan seorang
pria. Darahku langsung mendidih. Namun masih kupakai akal sehat. Aku
mengikutinya dengan diam-diam kemana mereka. Menurut jadwal kerja, malam
itu Ranti kerja shift malam.
Ranti dan lelaki itu belok
ke sebuah rumah. Aku tak tahu rumah siapa, barangkali rumah lelaki
brengsek itu. Kuletakkan motorku di dekat pohon mangga yang menancap
rimbun di halaman sebuah rumah. Lalu mengendap menuju rumah yang dituju
Ranti. Tak cukup kesulitan, karena suasana yang gelap dan sepi membuatku
leluasa mendekati rumah tersebut. Dari balik jendela, aku memastikan
bahwa perempuan itu benar-benar Ranti. Ternyata benar. Cukup benar. Dia
Ranti istriku. Ranti ibu dari Ali, anak semata wayangku. Situasi seperti
itu hampir saja membuatku gelap mata. Namun kucoba sekuat tenaga untuk
mengontrol semuanya. Dengan perasaan campur aduk, seluruh badanku yang
gemetar, meninggalkan tempat itu.
***
Pagi
itu, Ranti menjerit ketika melihat ruang tamu berantakan. Ternyata tak
hanya ruang tamu, seluruh isi rumah seperti kapal pecah. Silang
sengkarut, sebagian hancur. Ia mencari kemana anak dan suaminya. Tapi
tak didapati keduanya. Padahal biasanya, keduanya sedang tidur ketika
dirinya pulang saat shift malam. Perempuan itu menduga-duga. Barangkali
kerampokan atau sejenisnya. Maka, dengan tangis yang masih melandanya,
ia menuju ke rumah tetangga. Meminta keterangan.
“Saya tak
tahu pasti mbak. Tapi saya sempat medengar suara ribut dalam rumahmu.
Saya dan beberapa tetangga sempat menghentikan Mas Jadid yang
membanting-mbanting semua yang ia pegang. Tapi itu tak mampu
menghentikan semuanya. Tetangga hanya melihat sampai tuntas. Setelah
itu, Mas Jadid dan Ali pergi dengan tas besar. Bahkan, kami semua yang
dari tadi melihat aksinya, disalami satu persatu. Yang saya tahu, dia
meminta maaf semua kesalahannya yang telah dibuat.”
Ranti
bukan main terkejut. Ia berusaha menduga-duga. Perempuan itu dengan
linglung kembali menuju rumahnya. Ia sepenuhnya tahu tabiat suaminya.
Tak mungkin akan bertindak kalap seperti ini jika tak ada sesuatu yang
serius menimpanya. Meskipun selama ini ia tidak sepenuhnya mencintai,
membayangkan kejadian buruk yang akan menimpanya ia belum dan mungkin
tidak siap. Lelaki pilihan keluarganya itu merupakan pribadi yang selalu
percaya dan mengerti kemauannya. Bahkan ketika desus perselingkuhannya
menguat, suaminya lebih percaya padanya.
Kini Ranti merasa
sendiri. Ia rebahkan tubuhnya ditengah keriuhan perabotnya yang
sengkarut. Ia meratapi kekalahannya menutupi perselingkuhannya. Ali,
anak semata wayangnya mengendap endap di pelupuk matanya. Nampak
cemberut sambil memeluk lelaki yang sampai sejauh ini tidak sepenuhnya
dicintai. Ia tahu, tak ada gunanya menangis. Tetapi ia merasa perlu
menangis. Ranti menangis.
(Markas Pribadi-Prambon, 29/4/15)
Menu
Puisi
(60)
Resensi
(19)
Opini
(17)
Sastra
(16)
Cermin
(15)
Menjadi guru
(13)
Teror
(9)
Sabda Pemilik Kampung
(8)