#Habis
Menjadi guru merupakan panggilan hati. Versi saya tuh. Saya percaya, ketika sebuah pekerjaan di mulai dari hati, semua akan lancar jaya (umumnya). Namun terkadang, meskipun dari hati, manusia selalu diganggu yang namanya kelabilan. Antara ikhlas dan tidak, antara sabar dan kebalikannya. Begilah dua kutub saling tarik menarik. Mungkin di situlah keunikan sekaligus keindahan sifat manusia.
Kalau saya memutuskan untuk tidak menjadi guru, tentu saya telah menimbangnya berat-berat. menakarnya masak-masak. Hingga lahirlah eksekusi pilihan tersebut. Konsep panggilan hati di awal, tampaknya punya banyak gangguan teknis maupun non teknis. Tapi, saya tak mau menyalahkan di luar diri saya. karena jelas, ini pilihan saya sendiri. Tanpa paksaan lagi. maka, nyinyir sambil memuntahkan kesalahan pihak lain, bukan hal bijak. Meski pikiran-pikiran semacam itu tumbuh subur di kepala. Sabar, begitu kata kuncinya.
Hal paling mendasar yang amat mengganjal, yakni hubungan psikis yang terjalin antara saya dan murid saya. Susah sekali diterjemahkan, ketika harus jauh dari mereka. Namun, biarlah resahku menjadi nyanyian privat. Saya harus berjalan ke arah berbeda. Menyimpan rindu, kekesalan, dan seabrek teka-teki yang tak mungkin saya pecahkan.
Menu
Sabtu, 27 Desember 2014
Menjadi Guru 13
Kamis, 18 Desember 2014
Gerimis
"Malam, Pak. Kondisi jalan tidak memungkinkan. Hujan barusan telah membuat beberapa pohon tumbang. Maklum anginnya kencang juga". Karim berpikir keras. Tak mungkin Ia pulang. Untuk memutarpun, rasanya akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Jalan ini merupakan akses tercepat. "maaf pak, saya sudah terbiasa dengan kondisi macam begini Pak. jadi izinkan saya lewat. Bila perlu, bapak kawal. Nanti untuk urusan administrasi, dijamin beres.." Dua polisi itu nampak terkejut. "Ini bukan soal tawar menawar pak. Ini aturan. Tak ada hal-hal tawar menawar seperti itu. Ini bukan pasar. Ini sudah aturan. Aturan pak" salah seorang polisi itu nampak jengkel.
Sederhana
Si anak hanya minta handphone. Tangannya menunjuk ke etalase. Ayahnya
cemberut. Mungkin harganya mahal, atau mungkin modelnya yang tidak
cocok. Tapi sang ayah tak paham model. Tak paham fungsi. Di sini si anak
lebih jago. Hafal. Mana yang fiturnya canggih, lumayan canggih, dan
tidak canggih. Sang ayah hanya tahu isi dompetnya berapa. Jika harus beli
yang itu, buat makan ayam-ayamnya nanti apa. Sebelum itu istrinya akan
marah-marah bila tak ada uang belanja. Meskipun sang istri bekerja. Tapi
uang belanja toh menjadi wajib. Belum lagi biaya anu itu untuk sekolah
anaknya.
Si anak
terus merengek. Bahkan suaranya kini terdengar. kalau tadi hanya
setengah berbisik. Kasak kusuk. Sekarang tindakannya lebih berani.
Menangis. Mengucek ngucek mata. Kakinya dihentak ke lantai.
Berkali-kali. Musik di galeri handphone itupun sedikit terganggu.
Pengunjung juga terganggu. Satu persatu mereka melihat si anak. Ternyata
mata-mata itu sebuah energi. Suara tangisan si anak semakin kuat.
Volumenya. Di pipi, air mata terus mengucur. Bajupun mulai basah.
Menunggu
Beberapa hari ini, ada beberapa hal yang selalu kuingat menjelang
tidur. Pertama, apa yang akan kami makan besok sekeluarga. Kedua,
bagaimana cara menghadapi juragan kontrakan yang telah memberi tenggat
waktu untuk membayar sewa. Ketiga, dan ini yang paling penting saya
pikir, apakah harus banting stir dari pekerjaan sebagai guru? Ini imbas
dari kenaikan BBM beberapa waktu lalu, praktis semua barang, jasa, dll
ikutan naik pula. Sementara gajiku sebagai guru swasta, honorer pula,
tetap segitu mulai dulu. Di satu sisi, saya mengemban tugas kemanusiaan;
mencerdaskan kehidupan anak bangsa, tetapi di sisi berbeda, perut
keluarga kami tidak bisa ditipu. kami perlu makan untuk hidup. Perlu
tempat tinggal untuk berteduh. Praktisnya, kami perlu uang untuk hidup.
Beberapa
kali juga, saya tergiur untuk bekerja di pabrik. Mereka punya standar
upah yang tinggi. Tiap tahun, dengan militansi solidaritas, selalu
berhasil menaikkan gaji mereka. Sedangkan kami? Ah, sepertinya kami
hidup di awang-awang. Sebagai pahlawan yang selalu kilau oleh janji
surga. Memang, tidak semua guru yang begitu. Bagi yang sudah PNS, tentu
mereka lebih beruntung. Dewasa ini, sebenarnya sudah ada semacam
sertifikasi untuk mengerek pendapatan guru. Tapi sekali lagi, itu
birokratif dan tentu saja berbelit-belit. Banyak juga yang lolos tapi
bayarannya tak kunjung keluar.
Desember
Kami harus menuruni tebing curam untuk mencari air. Di sungai tadah hujan itulah, kebutuhan kami akan air ditambatkan. Pada musim kemarau berkepanjangan, aliran air sudah pasti mati. Air yang menggenang di kedung itulah yang menolong kami. Kami mandi di kubangan air yang tak mengalir . Beberapa dari kami berenang di kubangan itu. Persis seperi kerbau. Tapi, jangan coba-coba berenang bila ada orang tua yang mandi di sana. Karena tak mengalir, pastilah airnya akan keruh. Nah, dimarahi orang tua bukan sesuatu hal yang menarik, bukan? Apalagi bila sampai kencing di sana, pastilah akan banyak hujatan dan kutukan.