SDku dulu paling banyak disorot. Terpencil dan memiliki jumlah murid
yang fantastis. Satu kelas berjumlah 5 orang (tidak termasuk saya).
Makanya, kalau ada acara ramai-ramai di lapangan desa pastilah jadi
bahan olokkan.
SDN Bodang 5, terletak di dusun kelapa Sawit,
desa Bodang. Dulu (atau bahkan mungkin saat ini) dipandang sebagai dusun
terpencil. Bahkan, untuk mengikuti EBTANAS (Baca: UNAS), kami harus
numpang di SDN Bodang II (Dsn. Sumber Poring). Jalan yang kami tempuh
juga bukan main, melewati jurang yang cukup curam dan makam yang kami
anggap angker. Tapi untunglah, ketika angkatanku sejarah dimulai. kami
tak lagi dipandang remeh. Saat pengumuman kelulusan, namaku nangkring di
urutan teratas. Bahkan, ajaibnya saya hanya kalah dari SDN Bodang III.
Praktis nomer dua jika diperingkat dari SDN di desa Bodang. Karena baru
pertama kali terjadi, maka saya banyak sekali dapat pujian dari
bapak/ibu guru kala itu. Tapi pada intinya, saya masih merasa sebagai
anak dusun yang terpencil.
Maka, saat masuk SMP, melihat bangunan dan luasnya yang luar biasa, rasa
kagum menjadi melimpah ruah. Wow.... Bayangkan saja, di SD dua kelas
itu dijadikan satu kelas. Total tiga ruang kelas yang kami punya, dihuni
enam kelas (tentu saja jumlahnya sedikit). Makanya, bibir ini terus
berdecak kagum. Saat itu, saya dan kawan-kawan menjadi angkatan ke-3.
Pada saat masuk, sekolah masih belum meluluskan muridnya. Lucunya, saat
itu masih bernama SMPN 3 Sukodono. Tak lama kemudian jadilah SLTPN 1
Padang (bimsalabim).
Di sekolah baru, danemku menempati posisi
tiga. Pertama Guntur Saiful Mukti (Anak Mojo), Menik Faradila (Anak
karangngayar), dan saya sendiri (Anak SDN terpencil). Tentu saja ada
rasa bangga. Berhasil menyisihkan puluhan siswa lainnya. Namun demikian,
saya cukup kagum dengan mas Guntur, peraih danem 40. Sejak saat itu,
saya berusaha mengenalnya, juga mengenal mbak Menik. Saya anggap mereka
dua siswa yang pilih tanding, soalnya nilainya di atas punyaku. Secara
perlahan, ada tekad yang bulat di dalam hati untuk menjadi yang terbaik.
maka saya pilih belajar, dan terus belajar.
Menu
Puisi
(60)
Resensi
(19)
Opini
(17)
Sastra
(16)
Cermin
(15)
Menjadi guru
(13)
Teror
(9)
Sabda Pemilik Kampung
(8)