skip to main |
skip to sidebar
Sudah menjadi kodrat sekolah bila siswa dilarang pake sandal di
sekolah. Maka, ketika dijumpai sandal di mushola, sandal itu langsung
diambil. Begitulah tim kesiswaan sekolahku. cukup tegas. Tak heran,
sehabis Jumatan, pak Fatah (penjaga sekolahan) kebingungan mencari
sandalnya. ternyata, sandalnya dikira punya siswa oleh tim kesiswaan.
Sehingga dengan tanpa alas kaki menuju ruang BK. Habis Jumatan pun
menjadi riuh oleh gelak tawa anak-anak.
Tapi pagi itu saya
hanya bisa merasakan detak keriuhan tersebut. pasalnya, saya berada pada
jarak waktu 10 tahun dari kejadian itu. Sekarang mushola kecil
sekolahku telah menjadi sebuah masjid. bangunanpun sedikit diperluas
hingga parkiran. sayap kanan dan kiri diberi pagar. saya duduk di
beranda sambil menakar pandangan. Masih sama seperti dulu. tapi berbeda.
begitulah yang berkecipak di kepalaku.
ketika tengah berjibaku
denganmasa lalu, saya dikejutkan dengan seorang lelaki yang hendak
sholat. Rupnya beliau guru di sini. Kebetulan pada waktu dulu, beliau
belum ada. sehingga saya tak kenal. namun, spertinya wajah beliau tidak
asing. berkelebat bayangan teman di fesbuk.
"Kok, di sini mas" ujarnya bersahaja.
saya menjawabnya dengan sejujurnya. lalu beliau sholat dhuha dan
meninggalkan tempat itu. Beliau berpamitan dan tersenyum. Saya masih
bimbang apakah itu pak Kuswantoro (teman fesbuk) atau bukan. saya memang
punya dua teman di fesbuk yang mengajar di sini. Salah satunya pak
kuswantoro dan bu septa, kebetulan kami belum pernah bertemu langsung.
keherananku dipecah oleh kegaduhan siswa yang telah ujian. parkiran
langsung gaduh oleh dentuman knalpot siswa-siswa. Pikiranku semakin
kacau dan badanku bergetar. tapi saya harus berani. saya harus punya
nyali untuk menemui guru-guruku.
******
Di pintu
kantor saya sempat kaku. tak bisa membayangkan bagaimana ekspresiku bila
bertemu dengan Beliau-beliau. tapi, waktu sudah tidak memberikan
toleransi. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Maka saya langsung masuk
kantor sambil mengucapkan salam dengan cukup parau. bergetar hebat. di
pintu, Pak Madjid kusalami. Beliau tampaknya kebingungan.
"Haris ya mas. Mau cari Bu Yanti?"
Saya cium tangannya. Baru kemudian ada celetukan yang menyebut nama saya dengan pelan. Langsung saya sambar dan betulkan.
"Ya, itu nama saya. Saya Shodiqin" ujarku bergetar hebat. campur aduk dan sebagainya.
Distulah saya menyalami guru-guru saya. Sampai bingung saya mulai dari
mana. Bu Masrifah, Bu Rini, Pak Apri, Bu Rini, Bu Shinta, Bu Yanti, Bu
Nanik, Pak Karyani (Mungkin ada yang terlupa). Bahkan sampai lupa tidak
menyalmi guru-guru baru. Bukan berarti saya sombong, tetapi saya merasa
di dunia mimpi. Saya bhkan tak percaya bisa bertemu mereka kembali
setelah sekian lama tidak berjumpa. Saya lalu duduk dengan posisi salah
tingkah. bingung malu, bahagia dan lainnya.
Mungkin pertemuanku
hanya sebatas salaman dan basa-basi ala kadarnya. Tapi itu sudah lebih
dari cukup untuk menyuntikkan motivasi yang besar ke depannya untukku.
Saya memang pemimpi, hidup saya kugantung dengan mimpi yang mungkin bagi
semua orang hanyalah kegilaan. Tapi sekarang saya tlah membuktikan,
saya kembali ke tempat ini dengan langkah berbeda. Anak desa yang culun
dan cupu. Meskipun masih culun dan cupu setidaknya saya bersyukur bahwa
langkah saya berbeda.
Terima kasih semuanya. Teh manis dari bu
Eva ku tenggak habis. jajan di toples belum sempat kulahap. Tapi
senyummu, guruku, telah membuat semangatku menjadi berkali-kali lipat.