Si anak hanya minta handphone. Tangannya menunjuk ke etalase. Ayahnya
cemberut. Mungkin harganya mahal, atau mungkin modelnya yang tidak
cocok. Tapi sang ayah tak paham model. Tak paham fungsi. Di sini si anak
lebih jago. Hafal. Mana yang fiturnya canggih, lumayan canggih, dan
tidak canggih. Sang ayah hanya tahu isi dompetnya berapa. Jika harus beli
yang itu, buat makan ayam-ayamnya nanti apa. Sebelum itu istrinya akan
marah-marah bila tak ada uang belanja. Meskipun sang istri bekerja. Tapi
uang belanja toh menjadi wajib. Belum lagi biaya anu itu untuk sekolah
anaknya.
Si anak
terus merengek. Bahkan suaranya kini terdengar. kalau tadi hanya
setengah berbisik. Kasak kusuk. Sekarang tindakannya lebih berani.
Menangis. Mengucek ngucek mata. Kakinya dihentak ke lantai.
Berkali-kali. Musik di galeri handphone itupun sedikit terganggu.
Pengunjung juga terganggu. Satu persatu mereka melihat si anak. Ternyata
mata-mata itu sebuah energi. Suara tangisan si anak semakin kuat.
Volumenya. Di pipi, air mata terus mengucur. Bajupun mulai basah.
Di
kejauhan, dua satpam tengah tak sepaham. Yang satu mengusulkan untuk
menyuruh bapak-anak itu keluar. Bikin keributan. mengusik ketenangan.
Satunya, memilih untuk membiarkan saja. Toh, kalau nanti bapak-anak jadi
beli, kan toko bisa untung. Debat berlangsung dengan serius. Sebatas
kasak-kusuk. Sementara sang bapak eh sang anak terus menangis. Tangannya
mulai bergerak gerak. memegang baju sang ayah. Menariknya. Mengucek
mata. Menuding etalase. Adegan yang paling dramatis, si anak menyentuh
etalase dengan sedikit emosi. lebih tetapnya menggebrak. Entah karena
terlalu kuat, atau kualitas etalase yang buruk, etalase itupun ambrol.
Pecah. Serpihan kacanya menumpahi model-model hanphone di bawahnya.
Suara dobrakan tersebut lumayan keras. bahkan cukup keras. Semua
terkejut. Termasuk si anak.
Dua satpam berlari.
Mengamankan bapak-anak. Petugas lainnya membereskan pecahan-pecahan itu.
Beberapa pengunjung sejenak melupakan buruannya. Berbicara kejadian
itu. Ada yang simpati dengan si anak. Sebaliknya juga ada. Kasihan
dengan nasib sang bapak. Satu pengunjung segera mengomando. Mereka yang
memiliki simpatik dengan kejadian itu berkumpul. Tak banyak, hanya
sepuluh orang. Dari jumlah itu, tak ada satupun yang kenal secara
personal dengan bapak-anak. Ini murni dorongan kemanusiaan. Kesepuluh
inipun melancarkan aksi. Cukup alot. Akhirnya diperbolehkan mengikuti
adegan introgasi dari kepala satpam.
Supervisor toko
tersebut juga ikut hadir. Satu pegawai toko. Satu pengunjung menjadi
saksi. Sedangkan ke sepuluh ini sebagai tim independen, awalnya.
Sementara si anak, sengaja tak ikut jalannya interogasi. Karena menurut
pak supervisor, jalannya adegan tak cocok dengan umur. Akhirnya akibat
dari itu, sang Ayah harus diadili. Dikuliti sampai sejelasnya. Kepala
satpam memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana. ketika dijawab sang
ayah, disusul pertanyaan berikutnya. Begitu seterusnya. Bertele-tele.
Disambung keterangan perwakilan sales toko, saksi pengunjung, jawaban
lagi dari sang ayah, pertanyaan susulan dari kepala satpam. Kesepuluh
independen menyimak dengan begitu cermat keterangan-keterangan di adegan
yang lebih mirip sengketa pilpres itu. Ketika hampir sampai pada
simpulan dan tentu saja hukuman apa yang akan diberikan, satu satpam
membuyarkan kumpulan kata-kata di kepala kepala satpam. Semua di ruangan
itu terkejut dengan totokan pintu. Wajah seorang satpam menyembul.
Sebelum dipersilakan, pintu sudah ia buka. "Lapor pak, si anak menangis
lagi. menunjuk-nunjuk hape pak supervisor yang dimeja. Kakinya
dihentak-hentak. Satu monitor telah pecah kena seruduk" ujarnya pelan
dan sederhana.
Menu
Puisi
(60)
Resensi
(19)
Opini
(17)
Sastra
(16)
Cermin
(15)
Menjadi guru
(13)
Teror
(9)
Sabda Pemilik Kampung
(8)