Beberapa hari ini, ada beberapa hal yang selalu kuingat menjelang
tidur. Pertama, apa yang akan kami makan besok sekeluarga. Kedua,
bagaimana cara menghadapi juragan kontrakan yang telah memberi tenggat
waktu untuk membayar sewa. Ketiga, dan ini yang paling penting saya
pikir, apakah harus banting stir dari pekerjaan sebagai guru? Ini imbas
dari kenaikan BBM beberapa waktu lalu, praktis semua barang, jasa, dll
ikutan naik pula. Sementara gajiku sebagai guru swasta, honorer pula,
tetap segitu mulai dulu. Di satu sisi, saya mengemban tugas kemanusiaan;
mencerdaskan kehidupan anak bangsa, tetapi di sisi berbeda, perut
keluarga kami tidak bisa ditipu. kami perlu makan untuk hidup. Perlu
tempat tinggal untuk berteduh. Praktisnya, kami perlu uang untuk hidup.
Beberapa
kali juga, saya tergiur untuk bekerja di pabrik. Mereka punya standar
upah yang tinggi. Tiap tahun, dengan militansi solidaritas, selalu
berhasil menaikkan gaji mereka. Sedangkan kami? Ah, sepertinya kami
hidup di awang-awang. Sebagai pahlawan yang selalu kilau oleh janji
surga. Memang, tidak semua guru yang begitu. Bagi yang sudah PNS, tentu
mereka lebih beruntung. Dewasa ini, sebenarnya sudah ada semacam
sertifikasi untuk mengerek pendapatan guru. Tapi sekali lagi, itu
birokratif dan tentu saja berbelit-belit. Banyak juga yang lolos tapi
bayarannya tak kunjung keluar.
"Kenapa belum tidur Bang?, pagi nanti kau harus mengajar..." Aku tersentak. Istriku tampak menghampiriku. Duduk di sebelah.
"Aku belum ngantuk sayang.."
"Semua
masalah pasti ada solusi bang. Kita tawakkal saja pada yang punya
hidup" Istriku memang begitu. Diplomatis terhadap nasib yang menimpa
kami. Ia tak pernah muluk-muluk. Ketika tak mampu bayar kontrakan pun,
dia mengajak kami pindah ke kos-kosan. Aku haru dibuatnya. Dia
sebenarnya berhak menuntut lebih dariku. Nadia merupakan sarjana hukum.
Kami menikah tiga tahun silam. Semenjak Arya, putra pertama kami lahir,
saya menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Istriku menurutiku tanpa banyak
protes. Sejak saat itulah, saya menjadi tulang punggung utama keluarga.
Pagi mengajar di sekolah. Sore- malam berjualan es buah di tepi jalan
raya. Alhamdulillah, sampai sejauh ini kami bisa bertahan.
"Saya ingin bekerja jadi buruh pabrik saja dek.."
"Bang,
kamu itu sarjana pendidikan. Tekuni saja. Allah sudah mengatur rencana
yang luar biasa untuk kita.." Aku menghela nafas. Kupandangi wajah
istriku. Seiring perjalan waktu, wajahnya banyak mengguriskan garis
duka. Untuk urusan berdebat, Nadia selalu berhasil membuatku tersudut.
Tapi untungnya, hanya untuk hal-hal tertentu saja dia mendebatku.
Selebihnya, dia tak pernah membuatku marah.
"Kamu benar sayang. Aku akan usaha. Aku akan.." mataku menerawang jauh. Air mata Nadia mengalir deras.
"Nad,
kamu nangis?? kataku sembari merangkul bahunya. Kuambil tissu di meja,
lalu kuusap kedua matanya. Tapi, air matanya semakin deras saja.
***
Beberapa
siswa kelas XI menghampiriku. Di ruang guru yang telah lengang itu, aku
sebenarnya telah bersiap untuk pulang. Tapi kuurungkan sejenak.
"Bapak
tidak boleh pergi. Bapak harus tetap di sini.." salah satu dari mereka
mengatakan itu. Aku tersenyum kecut. Kepala sekolah telah mengizinkanku
untuk mengundurkan diri. Map yang kupegang, berisi suarat pengunduran
plus tanda tangan kepala sekolah.
"Silakan duduk dulu teman-teman"
"Tapi Bapak jangan pergi dari sini. Kami mohon itu.." Salah satu dari mereka menangis.
"Kalian
adalah anak-anak masa depan. Sementara bapak, adalah bagian dari masa
lalu yang sudah usang. Kalian perlu hal-hal baru untuk berkembang.
Kepindahan bapak merupakan siklus dari kehidupan. Persiapkan diri kalian
untuk menerima perubahan. Karena hanya perubahan yang tidak berubah."
Aku menyalami mereka satu persatu. Dengan ringan, kakiku meninggalkan
ruang guru. Menuruni tangga. Menuju motor di parkiran. Udara sore yang
lembab, membuatku sedikit melankolis. Sepanjang perjalanan, air mataku
luruh bersama hujan lebat sore itu.
Menu
Puisi
(60)
Resensi
(19)
Opini
(17)
Sastra
(16)
Cermin
(15)
Menjadi guru
(13)
Teror
(9)
Sabda Pemilik Kampung
(8)